Minggu, 31 Mei 2015

Parrot and Tortoise



“Parrot, my good friend”, said Tortoise. “Tell my wife to bring out all the soft things in my house so that I can jump down from the sky without danger.”
Parrot flew away. But whhen he reached Tortoise’s house. Parrot told his wife to bring out all the hard things in the house.  Tortoise looked down from the sky and saw his wife, but it was too far to see what she was bringing out. When everything was ready he jumped. He fell and fell and fell and landed with a great crash on the ground. He wasn’t hurt but his shell broke into many pieces. However, there was a great doctor in the neighbourhood. Tortoise’s wife sent for him and he collected all the hits of shell and stuck them together. And that is why Tortoise’s shell is not smooth.

Once upon a time all the birds were invited to a feast by the people of the sky. Now tortoise was very clever and very hungry, and as soon as he heard about the great feast he began to plan how he would travel to the sky.
Tortoise went to the birds and asked if he could go with them. All the birds agreed, and they each gave him a feather with which he made two wings.
At last the great day came and tortoise and the birds set off on their journey.
There is one important thing which we must not forget, he said as they flew on their way. When people are invited too a great feast like this they take new names. And so they each took a new name and tortoise also took one. He was to be called All of you.

At last the birds and tortoise arrived at the party. The people of the sky invited the birds to eat the delicious food they had prepared. But tortoise asked: “For whom have you prepared this feast?”
“For all of you”, replied the people of the sky. Tortoise turned to the birds and said, “Remember that my name is All of you. You will eat after me.”
The birds waited angrily as Tortoise ate and drank most off feast. Then they came forward to eat but some of them were too angry to eat. Before flying home, each bird took back the feather he had lent to tortoise. So there he stood in his hard shell full of food and drink but without any wings to fly home. He asked the birds to take a message for his wife, but they all refused expect Parrot.

Lost In Translation
Directed by Sofia Coppola, Lost in Translation is an unusual romantic comedy. It stars Bill Murray as Bob, a bored, middle-aged actor, and Scarlett Johansson as Charlotte, a young philosophy graduate who is unhappily married to a photographer. Set in Tokyo, the film tells the story of the two Americans who meet one night in the bar of their hotel. During the film, they become close friends.
What i liked about this film is that it is about the characters, not about action or events. It looks at how people communicate and how they can change each other. Not much happens, but that doesn’t matter. It’s clever, funny and well acted. If you like ‘feel good movies’, I can highly recommend this one.

Piaget



      Menurut Piaget, perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan yang jelas. Tahapan pertama disebut Piaget “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh pembatasan”. Tahap kedua disebutnya “tahap moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerja sama atau hubungan timbal balik”.
      Dalam tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan pada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap perkembangan moral ini, anak menilai tindakan sebagai“benar” dan “salah” atas dasar konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakan tersebut. Sebagai contoh: suatu tindakan dianggap “salah”karena mengakibatkan hukuman dari orang lain atau dari kekuatan alami atau adikodrati.
     Dalam tahapan kedua perkembangan moral, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 dan berlanjut hingga usia 12 dan lebih. Antara usia 5 dan 7 atau 8 tahun, konsep anak tentang keadilan mulai berubah. Gagasan yang kaku dan tidak luwes mengenai benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, secara bertahap dimodifikasi. Akibatnya, anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia 5 tahun berbohong selalu “buruk”,tapi anak yang lebih besar menyadari bahwa berbohong dibenarkan dalam situasi tertentu dan karenanya tidak selalu “buruk”.
     Tahap kedua perkembangan moral ini bertepatan dengan “tahapan operasi formal” dari Piaget dalam perkembangan kognitif, tatkala anak mampu mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar hipotesis dan dalil. Ini memungkinkan anak untuk melihat masalahnya dari berbagai sudut pandangan dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk memecahkannya.
A.    Biografi Kohlberg
Lawrence Kohlberg tumbuh besar di Bronxville, New York, dan memasuki Akademi Andover di Massachussets, sekolah menengah atas swasta yang mahal dan menuntut kemampuan akademis tinggi. Dia tidak langsung melanjutkan keperguruan tinggi namun pergi membantu pemulangan orang-orang Israel, bekerja sebagai insinyur tingga dua di pesawat angkut yang membawa pelarian dari Eropa melewati blockade Inggris ke Israel. Setelah itu, pada 1948, Kohlberg masuk ke Universitas Chicago di mana dua lulusan tes penerimaan dengan angka yang sangat tinngi sehingga hanya mengambil sedikit saja mata kuliahuntuk memperoleh gelar sarjana mudnya. Dlam waan ini memang dicapai hanya dalam waktu setahun. Dia tinggaI Chicago sebentar untuk mengejar gelar sarjananya di dalam psikologi yang awalnya dia ingin mengambil psikologi kimia. Namun segera dia menjadi tertarikkepada piaget danmulai mewawancarai anak-anak dan remaja tentang masalah-masalah moral. Semua hasil penelitiannya itu ditulis dalam disertasi doktoralnya (1958), rancangan pertama dari teori pentahapan psikologi yang baru. Kohlberg mengajar di Universitas Chicago dari tahun 1962 sampai 1968, dan di Universitas Harvard dari tahun 1968 sampai ajal menjemputnya ditahun 1987.[1]

B.     Asumsi teori perkembangan Kohlberg
Kohlberg mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih terperinci. Asumsi-asumsi yang Kohlberg guna dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut:
a.         Untuk memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan memahami falsafah moralnya, dengan memahami alasan-alasan yang melatar belakangi perbuatannya.
b.         Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu keseluruhan cara berfikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingkat pertimbangan moralnya.
c.          Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian urutan
perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.

C.    Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya, seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.
Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan cerita-cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya. Ia tertarik bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Konsep kunci dari teori Kohlberg ialah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal. Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak.
Dalam wawancara, anak-anak diberikan serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Bagaimana anak-anak dalam penyikapi setiap cerita yang dilakukan oleh masing-masing tokoh dalam cerita yang disampaikan oleh kohlberg. Berikut ini adalah salah satu cerita dilema Kohlberg yang paling populer:
“Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya sepuluh kali lipat lebih mahal dari pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan satu dosis kecil obat ia membayar 200 dolar dan menjualnya 2000 dolar. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya bisa mengumpulkan 1000 dolar atau hanya setengah dari harga obat tersebut. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau memperbolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata, “Tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya”.
Cerita ini adalah salah satu dari sebelas cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Mengapa? Apakah tugas suami untuk mencuri obat bagi istrinya kalau ia tidak mendapatkannya dengan cara lain? Apakah apoteker memiliki hak untuk mengenakan harga semahal itu walaupun tidak ada suatu aturan hukum yang membatasi harga? Mengapa atau mengapa tidak?. Berdasarkan penalaran tersebut, Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda.[2] Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif, setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih memenuhi syarat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya:
1.         Tingkat Moralitas Pra-Konvensional
Penalaran pra-konvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal. Seperti dalam tahap heteronomous Piaget, anak-anak menerima aturan figur otoritas, dan tindakan yang dinilai oleh konsekuensi mereka. Perilaku yang mengakibatkan hukuman dipandang sebagai buruk, dan mereka yang mengarah pada penghargaan dilihat sebagai baik. Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris:
Tahap 1:   Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Orientasi hukuman dan kepatuhan (punishment and obedience orientation) ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman, seseorang memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Anak-anak pada tahap ini sulit untuk mempertimbangkan dua sudut pandang dalam dilema moral. Akibatnya, mereka mengabaikan niat orang-orang dan bukan fokus pada ketakutan otoritas dan menghindari hukuman sebagai alasan untuk bersikap secara moral.
Tahap 2:   Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?).
Individualisme dan tujuan (individualism and purpose) ialah tahap kedua dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah. Anak-anak menyadari bahwa orang dapat memiliki perspektif yang berbeda dalam dilema moral, tetapi pemahaman ini adalah pada awalnya sangat konkret. Mereka melihat tindakan yang benar sebagai yang mengalir dari kepentingan diri sendiri. Timbal balik dipahami sebagai pertukaran yang sama nikmat “Anda melakukan ini untuk saya dan saya akan melakukannya untuk Anda.”

2.         Tingkat Moralitas Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah, seseorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orang tua atau masyarakat. Pada tingkat konvensional, seseorang terus memperhatikan kesesuaian dengan aturan-aturan sosial yang penting, tetapi bukan karena alasan kepentingan diri sendiri. Mereka percaya bahwa aktif dalam memelihara sistem sosial saat ini memastikan hubungan manusia yang positif dan ketertiban masyarakat. Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat:
Tahap 3:   Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik).
Norma-norma interpersonal (interpersonal norms) ialah tahap ketiga dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi untuk menjadi “anak manis”. Pada tahap selanjutnya, terjadi sebuah proses perkembangan kearah sosialitas dan moralitas kelompok. Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Kesadaran dan kepedulian atas kelompok akrab, serta tercipta sebuah penilaian akan dirinya dihadapan komunitas/kelompok. Keinginan untuk mematuhi aturan karena mereka mempromosikan hubungan harmoni sosial muncul dalam konteks hubungan pribadi yang dekat.
Seseorang ingin mempertahankan kasih sayang dan persetujuan dari teman-teman dan kerabat dengan menjadi “orang baik”, bisa dipercaya, setia, menghormati, membantu, dan baik. Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya pada tahap ini. Sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang “anak baik” untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Tahap 4:   Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan).
Moralitas sistem sosial (social system morality) ialah tahap keempat dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Pada kondisi ini dimana seseorang sudah mulai beranjak pada orientasi hukum legal/peraturan yang berfungsi untuk menciptakan kondisi yang tertib dan nyaman dalam kelompok/komunitas. Seseorang memperhitungkan perspektif yang lebih besar dari hukum masyarakat. pilihan moral tidak lagi tergantung pada hubungan dekat dengan orang lain. Sebaliknya, peraturan harus ditegakkan dengan cara sama untuk semua orang, dan setiap anggota masyarakat memiliki tugas pribadi untuk menegakkan mereka serta mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.

3.         Tingkat Moralitas Pasca-Konvensional
Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi. Seseorang pada tingkat pasca-konventional bergerak di luar tidak perlu diragukan lagi dukungan untuk peraturan dan undang-undang masyarakat mereka sendiri. Mereka mendefinisikan moralitas dalam hal prinsip abstrak dan nilai-nilai yang berlaku untuk semua situasi dan masyarakat. Tingkatan pasca-konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi:
Tahap 5:   Orientasi kontrak sosial.
Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual (community rights versus individual rights) ialah tahap kelima dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain, menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada hukum. Seseorang dipandang sebagai memiliki pendapat dan nilai-nilai yang berbeda. Pada tahap ini penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut ‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak?’. Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima. Seseorang menganggap hukum dan aturan sebagai instrumen yang fleksibel untuk melanjutkan tujuan manusia. Mereka dapat membayangkan alternatif tatanan sosial mereka, dan mereka menekankan prosedur yang adil untuk menafsirkan dan mengubah hukum. Ketika hukum konsisten dengan hak-hak individu dan kepentingan mayoritas setiap orang mengikuti mereka karena orientasi partisipasi kontrak sosial bebas dan bersedia dalam sistem karena membawa lebih baik bagi orang-orang dari pada jika tidak ada.
Tahap 6:   Prinsip etika universal.
Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles) ialah tahap keenam dan tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap tertinggi, tindakan yang benar didefinisikan sendiri, prinsip-prinsip etis yang dipilih dari hati nurani yang berlaku untuk semua umat manusia, tanpa hukum dan kesepakatan sosial. Penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan, juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus, dengan cara ini tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.[3]

Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya.

Kohlberg percaya bahwa ketiga tingkat dan keenam tahap tersebut terjadi dalam suatu urutan dan berkaitan dengan usia:
       1.         Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak-anak berpikir tentang dilema moral dengan cara yang prakonvensional.
2.         Pada awal masa remaja, mereka berpikir dengan cara-cara yang lebih konvensional. 
3.         Pada awal masa dewasa, sejumlah kecil orang berpikir dengan cara-cara yang pasca konvensional.
D.    Kelemahan dan kelebihan teori Lawrence Kohlberg
1.         Kelemahan:
Teori Kohlberg dikritik karena memberi terlalu banyak penekanan pada penalaran moral dan kurang memberi penekanan pada perilaku moral. Penalaran moral kadang-kadang dapat menjadi tempat perlindungan bagi perilaku immoral. Seperti para penipu, koruptor, dan pencuri mungkin mengetahui apa yang benar, tetapi masih melakukan apa yang salah.
Kebudayaan dan Perkembangan MoralKritik lain terhadap pandangan Kohlberg ialah bahwa pandangan ini secara kebudayaan bias. Suatu tinjauan penelitian terhadap perkembangan moral di 27 Negara menyimpulkan bahwa penalaran moral lebih bersifat spesifik kebudayaan daripada yang dibayangkan oleh Kohlberg dan bahwa sistem skor Kohlberg tidak mempertimbangkan penalaran moral tingkattinggi pada kelompok-kelompok kebudayaan tertentu. Penalaran moral lebih dibentuk oleh nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan suatu kebudayaan daripada yang dinyatakan olehKohlberg.
Gender dan Perspektif  KeperdulianCarol Gilligan percaya bahwa teori perkembangan moral Kohlberg tidak mencerminkan secara memadai relasi dan keperdulian terhadap manusia lain. Perspektif keadilan (justice prespective) ialah suatu perspektif moral yang berfokus pada hak-hak individu; individu berdiri sendiri dan bebas mengambil keputusan moral. Teori Kohlberg ialah suatu perspektif keadilan. Sebaliknya, perspektif kepedulian (care perspective) ialah suatu perspektif moralyang memandang manusia dari sudut keterkaitannya dengan manusia lain dan menekankankomunikasi interpersonal, relasi dengan manusia lain, dan kepedulian terhadap orang lain.Teori Gilligan ialah suatu perspektif kepedulian. Menurut Gilligan, Kohlberg kurangmemperhatikan perspektif kepedulian dalam perkembangan moral. Ia percaya bahwa hal inimungkin terjadi karena Kohlberg seorang laki-laki, karena kebanyakan penelitiannya adalahdengan laki-laki daripada dengan perempuan, dan karena ia menggunakan respons laki-lakisebagai suatu model bagi teorinya.
AltruismeAltruisme ialah suatu minat yang tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong seseorang. Timbal balik dan pertukaran (reciprocity and exchange) terlibat dalam altruisme. Timbal balik ditemukan di seluruh dunia manusia. Timbal balik mendorong anak-anak untuk berbuat baik kepada orang lain sebagaimana mereka mengharapkan orang lain berbuat yang sama kepada mereka. Sentimen-sentimen manusia disarikan dalam timbal balik ini. Barangkali kepercayaan adalah prinsip yang paling penting dalam jangka panjang dalam altruisme. Rasa bersalah dapat muncul di permukaan kalau anak tidak membalas (melakukan timbal balik), dan kemarahandapat terjadi kalau seseorang tidak melakukan timbal balik. Tidak semua altruisme dimotivasioleh timbal balik dan pertukaran, tetapi interaksi dan reaksi dengan orang lain dapat menolongkita memahami hakekat altruisme. Keadaan-keadaan yang paling mungkin melibatkan altruism ialah emosi yang empatis terhadap seseorang yang mengalami kebutuhan atau suatu relasi yang erat antara dermawan dan penerima derma.William Damon menggambarkan suatu urutan perkembangan altruisme anak-anak,khususnya berbagi (sharing). Hingga usia 3 tahun, berbagi dilakukan karena alasan-alasan yang nonempatis; pada kira-kira 4 tahun, kombinasi kesadaran empatis dan dukungan orang dewasa menghasilkan suatu rasa kewajiban untuk berbagi; pada tahun-tahun awal sekolah dasar, anak-anak mulai secara sungguh-sungguh memperlihatkan gagasan-gagasan yang lebih obyektif tentang keadilan. Pada masa ini prinsip keadilan mulai dipahami; pada tahun-tahun pertengahandan akhir sekolah dasar, prinsip-prinsip prestasi dan kebajikan dipahami.[4]

E.     Implikasinya bagi pendidikan
Pendidikan saat ini umunya mempersiapkan peserta didik memilki banyak pengetahuan, tetapi tidak tahu cara memecahkan masalah tertentu yang dihadapai dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Pendidikan lebih mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak yang pandai dan cerdas, tetapi kurang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak yang baik. Masalah berkenaan dengan baik dan buruk menjadi kajian bidang moral.
Demikian juga dalam mengembangkan aspek moral peserta didik berarti bagaimana cara membantu peserta didik untuk menjadi anak yang baik, yang mengetahui dan berperilaku atau bersikap berbuat baik dan benar. Sikap dan perilaku moral dapat dikembangkan melalui pendidikan dan penanaman nilai/ norma yang dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran maupun kegiatan yang dilakukan anak di keluarga dan sekolah. Pendidikan bukan hanya mempersiapkan anak menjadi manusia cerdas, tetapi juga menjadi manusia yang baik, berbudi luhur, dan berguna bagi orang lain.[5]
Pengembangan moral melalui pendidikan mestinya bukan hanya mengajarkan nilai-nilai sebagai slogan saja. Hal ini tampak pada moral yang diyakini penganut dan moral budaya yang diterima warga masyarakat.
Proses pendidikan dan pembelajaran moral diteladankan orang tua dan dilakukan secara terpadu (integrated) pada tiap peluang dalam semua kegiatan sekolah.disana pendidik mengajarkan keteraturan hidup, disiplin serta melatih dan membiasakan peserta didik bermoral dalam perilaku dan kegiatannya. Otoritas mendukung berbagai kegiatan pengembangan moral warga masyarakat sebagai bagian upaya membangun karekter manusia indonesia seutuhnya. Cara yang ideal adalah dengan memantapkan pancasila melalui keteladanan pendidik pada umumnya kepada warga bangsa sebagai peserta didik sepanjang hayat. Disini berproses pembangunan watak bangsa.[6]

KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada 6 Tahap perkembangan moral Kohlberg yang terbagi menjadi 3 tingkatan, yakni:
Tingkat 1:   Prakonvensional.
Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap:
·      Tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman
·      Tahap relativistik –instrument
Tingkat 2 : Konvensional.
Pada tingkat ini juga dibagi menjadi 2 tahapan:
·      Tahap orientasi mengenai anak yang baik.
·      Tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas.
Tingkat 3:   Pasca konvensional, otonom atau berlandaskan prinsip
Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap yaitu:
·      Tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
·      Tahap prinsip etika universal.


DAFTAR PUSTAKA

Crain, William . 2007. Teori Perkembangan, Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Http://developmentbehaviourclinic.wordpress.com/2009/08/26/tahap-perkembangan-moral-kohlberg/. Diakses pada hari sabtu, tgl 13/10/ 2012/ jam 09.30.
Http://id.scribd.com/doc/48722403/teori-perkembangan-kohlberg
Http://malpalenisatriana.wordpress.com/2010/11/05/perkembangan-moral-menurut-teori-lawrence-kohlberg/
Makmun. Abi syamsudin. 2005. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Syah. Muhibbin. 2000. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.