Menurut Piaget,
perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan yang jelas. Tahapan pertama
disebut Piaget “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh pembatasan”. Tahap
kedua disebutnya “tahap moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerja sama atau
hubungan timbal balik”.
Dalam tahap pertama,
perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa
penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang dewasa
yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan pada
mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap perkembangan moral ini,
anak menilai tindakan sebagai“benar” dan “salah” atas dasar konsekuensinya dan
bukan berdasarkan motivasi di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan
tujuan tindakan tersebut. Sebagai contoh: suatu tindakan dianggap “salah”karena
mengakibatkan hukuman dari orang lain atau dari kekuatan alami atau adikodrati.
Dalam tahapan kedua
perkembangan moral, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya.
Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 dan berlanjut hingga usia 12
dan lebih. Antara usia 5 dan 7 atau 8 tahun, konsep anak tentang keadilan mulai
berubah. Gagasan yang kaku dan tidak luwes mengenai benar dan salah, yang
dipelajari dari orang tua, secara bertahap dimodifikasi. Akibatnya, anak mulai
mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran
moral. Misalnya bagi anak usia 5 tahun berbohong selalu “buruk”,tapi anak yang
lebih besar menyadari bahwa berbohong dibenarkan dalam situasi tertentu dan
karenanya tidak selalu “buruk”.
Tahap kedua
perkembangan moral ini bertepatan dengan “tahapan operasi formal” dari Piaget
dalam perkembangan kognitif, tatkala anak mampu mempertimbangkan semua cara
yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar
hipotesis dan dalil. Ini memungkinkan anak untuk melihat masalahnya dari
berbagai sudut pandangan dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk
memecahkannya.
A. Biografi Kohlberg
Lawrence Kohlberg
tumbuh besar di Bronxville, New York, dan memasuki Akademi Andover di
Massachussets, sekolah menengah atas swasta yang mahal dan menuntut kemampuan
akademis tinggi. Dia tidak langsung melanjutkan keperguruan tinggi namun pergi
membantu pemulangan orang-orang Israel, bekerja sebagai insinyur tingga dua di
pesawat angkut yang membawa pelarian dari Eropa melewati blockade Inggris ke
Israel. Setelah itu, pada 1948, Kohlberg masuk ke Universitas Chicago di mana
dua lulusan tes penerimaan dengan angka yang sangat tinngi sehingga hanya mengambil
sedikit saja mata kuliahuntuk memperoleh gelar sarjana mudnya. Dlam waan ini
memang dicapai hanya dalam waktu setahun. Dia tinggaI Chicago sebentar untuk
mengejar gelar sarjananya di dalam psikologi yang awalnya dia ingin mengambil
psikologi kimia. Namun segera dia menjadi tertarikkepada piaget danmulai
mewawancarai anak-anak dan remaja tentang masalah-masalah moral. Semua hasil
penelitiannya itu ditulis dalam disertasi doktoralnya (1958), rancangan pertama
dari teori pentahapan psikologi yang baru. Kohlberg mengajar di Universitas
Chicago dari tahun 1962 sampai 1968, dan di Universitas Harvard dari tahun 1968
sampai ajal menjemputnya ditahun 1987.[1]
B. Asumsi teori perkembangan Kohlberg
Kohlberg mengembangkan
teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan
kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Kohlberg mendefinisikan kembali dan
mengembangkan teorinya menjadi lebih terperinci. Asumsi-asumsi yang Kohlberg
guna dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut:
a. Untuk memahami tingkah laku moral seseorang adalah
dengan memahami falsafah moralnya, dengan memahami alasan-alasan yang melatar
belakangi perbuatannya.
b. Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu
keseluruhan cara berfikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingkat
pertimbangan moralnya.
c. Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian
urutan
perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.
perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.
C. Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg
Tahapan perkembangan moral
adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan
penalaran moralnya, seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan
tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan
teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan
kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi
doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut
tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa
penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis mempunyai enam tahapan
perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari
keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang
menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan
konstruktif.
Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan
cerita-cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya. Ia tertarik bagaimana
orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada
dalam persoalan moral yang sama. Lawrence Kohlberg menekankan bahwa
perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang
secara bertahap. Konsep kunci dari teori Kohlberg ialah internalisasi, yakni
perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi
perilaku yang dikendalikan secara internal. Kohlberg sampai pada pandangannya
setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak.
Dalam wawancara, anak-anak
diberikan serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema
moral. Bagaimana anak-anak dalam penyikapi setiap cerita yang dilakukan oleh
masing-masing tokoh dalam cerita yang disampaikan oleh kohlberg. Berikut ini
adalah salah satu cerita dilema Kohlberg yang paling populer:
“Di Eropa seorang perempuan
hampir meninggal akibat sejenis kanker. Ada suatu obat yang menurut dokter
dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini
ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini
sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya sepuluh kali lipat lebih
mahal dari pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan satu dosis kecil obat ia
membayar 200 dolar dan menjualnya 2000 dolar. Suami pasien perempuan, Heinz
pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya bisa
mengumpulkan 1000 dolar atau hanya setengah dari harga obat tersebut. Ia
memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker
bersedia menjual obatnya lebih murah atau memperbolehkannya membayar
setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata, “Tidak, aku menemukan obat,
dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan
membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya”.
Cerita ini adalah salah satu
dari sebelas cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi
hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak menjadi responden
menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri
obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Mengapa? Apakah tugas
suami untuk mencuri obat bagi istrinya kalau ia tidak mendapatkannya dengan
cara lain? Apakah apoteker memiliki hak untuk mengenakan harga semahal itu
walaupun tidak ada suatu aturan hukum yang membatasi harga? Mengapa atau
mengapa tidak?. Berdasarkan penalaran tersebut, Kohlberg kemudian
mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam
tahap yang berbeda.[2] Keenam tahapan tersebut dibagi ke
dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif, setiap tahapan dan
tingkatan memberi tanggapan yang lebih memenuhi syarat terhadap dilema-dilema
moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya:
1. Tingkat Moralitas Pra-Konvensional
Penalaran pra-konvensional adalah
tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada
tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral,
penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Seperti dalam tahap heteronomous Piaget, anak-anak menerima aturan figur
otoritas, dan tindakan yang dinilai oleh konsekuensi mereka. Perilaku yang
mengakibatkan hukuman dipandang sebagai buruk, dan mereka yang mengarah pada
penghargaan dilihat sebagai baik. Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral
umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan
penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional
menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung.
Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan
moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris:
Tahap
1: Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Orientasi hukuman dan
kepatuhan (punishment and obedience orientation) ialah tahap pertama dalam
teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan
atas hukuman, seseorang memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari
tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap
salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu
bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini
bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Anak-anak taat karena orang-orang
dewasa menuntut mereka untuk taat. Anak-anak pada tahap ini sulit untuk
mempertimbangkan dua sudut pandang dalam dilema moral. Akibatnya, mereka
mengabaikan niat orang-orang dan bukan fokus pada ketakutan otoritas dan menghindari
hukuman sebagai alasan untuk bersikap secara moral.
Tahap
2: Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?).
Individualisme dan tujuan
(individualism and purpose) ialah tahap kedua dalam teori perkembangan moral
Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan
kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang
paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa
yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah. Anak-anak
menyadari bahwa orang dapat memiliki perspektif yang berbeda dalam dilema
moral, tetapi pemahaman ini adalah pada awalnya sangat konkret. Mereka melihat
tindakan yang benar sebagai yang mengalir dari kepentingan diri sendiri. Timbal
balik dipahami sebagai pertukaran yang sama nikmat “Anda melakukan ini untuk
saya dan saya akan melakukannya untuk Anda.”
2. Tingkat Moralitas Konvensional
Penalaran konvensional
adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral
Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah, seseorang
mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati
standar-standar (internal) orang lain, seperti orang tua atau masyarakat. Pada
tingkat konvensional, seseorang terus memperhatikan kesesuaian dengan
aturan-aturan sosial yang penting, tetapi bukan karena alasan kepentingan diri
sendiri. Mereka percaya bahwa aktif dalam memelihara sistem sosial saat ini
memastikan hubungan manusia yang positif dan ketertiban masyarakat. Tingkat
konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya
dengan pandangan dan harapan masyarakat:
Tahap
3: Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap
anak baik).
Norma-norma interpersonal
(interpersonal norms) ialah tahap ketiga dalam teori perkembangan moral Kohlberg.
Tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi untuk menjadi “anak manis”.
Pada tahap selanjutnya, terjadi sebuah proses perkembangan kearah sosialitas
dan moralitas kelompok. Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang
menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai
landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Kesadaran dan kepedulian
atas kelompok akrab, serta tercipta sebuah penilaian akan dirinya dihadapan
komunitas/kelompok. Keinginan untuk mematuhi aturan karena mereka
mempromosikan hubungan harmoni sosial muncul dalam konteks hubungan pribadi
yang dekat.
Seseorang ingin
mempertahankan kasih sayang dan persetujuan dari teman-teman dan kerabat dengan
menjadi “orang baik”, bisa dipercaya, setia, menghormati, membantu, dan baik.
Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya pada tahap ini.
Sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang
baik atau laki-laki yang baik, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran
sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang
lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran
yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang “anak baik” untuk memenuhi
harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal
seperti rasa hormat, rasa terimakasih. Keinginan untuk mematuhi aturan dan
otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Tahap
4: Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (
Moralitas hukum dan aturan).
Moralitas sistem sosial
(social system morality) ialah tahap keempat dalam teori perkembangan moral
Kohlberg. Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan
sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Pada kondisi ini dimana seseorang
sudah mulai beranjak pada orientasi hukum legal/peraturan yang berfungsi untuk
menciptakan kondisi yang tertib dan nyaman dalam kelompok/komunitas. Seseorang
memperhitungkan perspektif yang lebih besar dari hukum masyarakat. pilihan
moral tidak lagi tergantung pada hubungan dekat dengan orang lain. Sebaliknya,
peraturan harus ditegakkan dengan cara sama untuk semua orang, dan setiap
anggota masyarakat memiliki tugas pribadi untuk menegakkan mereka serta
mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara
fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar
kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan
apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila
seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga
ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.
3. Tingkat Moralitas Pasca-Konvensional
Pada tingkat ini, moralitas
benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang
lain. Seseorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan,
dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi. Seseorang pada
tingkat pasca-konventional bergerak di luar tidak perlu diragukan lagi dukungan
untuk peraturan dan undang-undang masyarakat mereka sendiri. Mereka
mendefinisikan moralitas dalam hal prinsip abstrak dan nilai-nilai yang berlaku
untuk semua situasi dan masyarakat. Tingkatan pasca-konvensional, juga dikenal
sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan
moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari
masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki
pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi:
Tahap
5: Orientasi kontrak sosial.
Hak-hak masyarakat versus
hak-hak individual (community rights versus individual rights) ialah tahap
kelima dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang
memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa
standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain, menyadari bahwa hukum
penting bagi masyarakat, tetapi juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah.
Seseorang percaya bahwa beberapa nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada
hukum. Seseorang dipandang sebagai memiliki pendapat dan nilai-nilai yang
berbeda. Pada tahap ini penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan
pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan
yang pasti benar atau absolut ‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang
lain tidak?’. Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan
bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan
sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk
sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas,
dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan
pada penalaran tahap lima. Seseorang menganggap hukum dan aturan sebagai
instrumen yang fleksibel untuk melanjutkan tujuan manusia. Mereka dapat
membayangkan alternatif tatanan sosial mereka, dan mereka menekankan prosedur
yang adil untuk menafsirkan dan mengubah hukum. Ketika hukum konsisten dengan
hak-hak individu dan kepentingan mayoritas setiap orang mengikuti mereka karena
orientasi partisipasi kontrak sosial bebas dan bersedia dalam sistem karena
membawa lebih baik bagi orang-orang dari pada jika tidak ada.
Tahap
6: Prinsip etika universal.
Prinsip-prinsip etis
universal (universal ethical principles) ialah tahap keenam dan tertinggi dalam
teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap tertinggi, tindakan yang benar
didefinisikan sendiri, prinsip-prinsip etis yang dipilih dari hati nurani yang
berlaku untuk semua umat manusia, tanpa hukum dan kesepakatan sosial. Penalaran
moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Bila
menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara
hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi. Hukum hanya
valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan, juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak
perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis.
Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya
secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan
apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan
apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil
konsensus, dengan cara ini tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu
menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.[3]
Teori perkembangan moral
yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan bahwa sikap dan
perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari
kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi
juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan
berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya.
Kohlberg percaya bahwa
ketiga tingkat dan keenam tahap tersebut terjadi dalam suatu urutan dan
berkaitan dengan usia:
1. Sebelum usia 9 tahun, kebanyakan anak-anak berpikir
tentang dilema moral dengan cara yang prakonvensional.
2. Pada awal masa remaja, mereka berpikir dengan
cara-cara yang lebih konvensional.
3. Pada awal masa dewasa, sejumlah kecil orang berpikir
dengan cara-cara yang pasca konvensional.
D. Kelemahan dan kelebihan teori Lawrence Kohlberg
1. Kelemahan:
Teori Kohlberg dikritik
karena memberi terlalu banyak penekanan pada penalaran moral dan kurang memberi
penekanan pada perilaku moral. Penalaran moral kadang-kadang dapat menjadi
tempat perlindungan bagi perilaku immoral. Seperti para penipu, koruptor,
dan pencuri mungkin mengetahui apa yang benar, tetapi masih melakukan apa
yang salah.
Kebudayaan dan Perkembangan Moral: Kritik lain
terhadap pandangan Kohlberg ialah bahwa pandangan ini secara
kebudayaan bias. Suatu tinjauan penelitian terhadap perkembangan moral di
27 Negara menyimpulkan bahwa penalaran moral lebih bersifat spesifik
kebudayaan daripada yang dibayangkan oleh Kohlberg dan bahwa sistem skor
Kohlberg tidak mempertimbangkan penalaran moral tingkattinggi pada
kelompok-kelompok kebudayaan tertentu. Penalaran moral lebih dibentuk oleh
nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan suatu kebudayaan daripada yang dinyatakan
olehKohlberg.
Gender dan Perspektif Keperdulian: Carol Gilligan percaya bahwa teori perkembangan moral Kohlberg tidak
mencerminkan secara memadai relasi dan keperdulian terhadap manusia lain.
Perspektif keadilan (justice prespective) ialah suatu perspektif moral
yang berfokus pada hak-hak individu; individu berdiri sendiri dan bebas
mengambil keputusan moral. Teori Kohlberg ialah suatu perspektif keadilan.
Sebaliknya, perspektif kepedulian (care perspective) ialah suatu perspektif
moralyang memandang manusia dari sudut keterkaitannya dengan manusia lain dan
menekankankomunikasi interpersonal, relasi dengan manusia lain, dan kepedulian
terhadap orang lain.Teori Gilligan ialah suatu perspektif kepedulian. Menurut
Gilligan, Kohlberg kurangmemperhatikan perspektif kepedulian dalam perkembangan
moral. Ia percaya bahwa hal inimungkin terjadi karena Kohlberg seorang
laki-laki, karena kebanyakan penelitiannya adalahdengan laki-laki daripada
dengan perempuan, dan karena ia menggunakan respons laki-lakisebagai suatu
model bagi teorinya.
Altruisme: Altruisme ialah suatu minat yang tidak mementingkan
diri sendiri dalam menolong seseorang. Timbal balik dan pertukaran (reciprocity
and exchange) terlibat dalam altruisme. Timbal balik ditemukan di seluruh
dunia manusia. Timbal balik mendorong anak-anak untuk berbuat baik kepada orang
lain sebagaimana mereka mengharapkan orang lain berbuat yang sama kepada
mereka. Sentimen-sentimen manusia disarikan dalam timbal balik ini. Barangkali
kepercayaan adalah prinsip yang paling penting dalam jangka panjang dalam
altruisme. Rasa bersalah dapat muncul di permukaan kalau anak tidak membalas
(melakukan timbal balik), dan kemarahandapat terjadi kalau seseorang tidak
melakukan timbal balik. Tidak semua altruisme dimotivasioleh timbal balik dan
pertukaran, tetapi interaksi dan reaksi dengan orang lain dapat menolongkita
memahami hakekat altruisme. Keadaan-keadaan yang paling mungkin melibatkan
altruism ialah emosi yang empatis terhadap seseorang yang mengalami kebutuhan
atau suatu relasi yang erat antara dermawan dan penerima derma.William Damon
menggambarkan suatu urutan perkembangan altruisme anak-anak,khususnya berbagi
(sharing). Hingga usia 3 tahun, berbagi dilakukan karena alasan-alasan yang
nonempatis; pada kira-kira 4 tahun, kombinasi kesadaran empatis dan dukungan
orang dewasa menghasilkan suatu rasa kewajiban untuk berbagi; pada tahun-tahun
awal sekolah dasar, anak-anak mulai secara sungguh-sungguh memperlihatkan
gagasan-gagasan yang lebih obyektif tentang keadilan. Pada masa ini
prinsip keadilan mulai dipahami; pada tahun-tahun pertengahandan akhir sekolah
dasar, prinsip-prinsip prestasi dan kebajikan dipahami.[4]
E. Implikasinya bagi pendidikan
Pendidikan saat ini umunya
mempersiapkan peserta didik memilki banyak pengetahuan, tetapi tidak tahu cara
memecahkan masalah tertentu yang dihadapai dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari. Pendidikan lebih mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anak
yang pandai dan cerdas, tetapi kurang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi
anak yang baik. Masalah berkenaan dengan baik dan buruk menjadi kajian bidang
moral.
Demikian juga dalam
mengembangkan aspek moral peserta didik berarti bagaimana cara membantu peserta
didik untuk menjadi anak yang baik, yang mengetahui dan berperilaku atau
bersikap berbuat baik dan benar. Sikap dan perilaku moral dapat dikembangkan
melalui pendidikan dan penanaman nilai/ norma yang dilakukan secara
terintegrasi dalam pelajaran maupun kegiatan yang dilakukan anak di keluarga
dan sekolah. Pendidikan bukan hanya mempersiapkan anak menjadi manusia cerdas,
tetapi juga menjadi manusia yang baik, berbudi luhur, dan berguna bagi orang
lain.[5]
Pengembangan moral melalui
pendidikan mestinya bukan hanya mengajarkan nilai-nilai sebagai slogan saja.
Hal ini tampak pada moral yang diyakini penganut dan moral budaya yang diterima
warga masyarakat.
Proses pendidikan dan
pembelajaran moral diteladankan orang tua dan dilakukan secara terpadu
(integrated) pada tiap peluang dalam semua kegiatan sekolah.disana pendidik
mengajarkan keteraturan hidup, disiplin serta melatih dan membiasakan peserta
didik bermoral dalam perilaku dan kegiatannya. Otoritas mendukung berbagai
kegiatan pengembangan moral warga masyarakat sebagai bagian upaya membangun
karekter manusia indonesia seutuhnya. Cara yang ideal adalah dengan memantapkan
pancasila melalui keteladanan pendidik pada umumnya kepada warga bangsa sebagai
peserta didik sepanjang hayat. Disini berproses pembangunan watak bangsa.[6]
KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas
maka dapat disimpulkan bahwa ada 6 Tahap perkembangan moral Kohlberg yang
terbagi menjadi 3 tingkatan, yakni:
Tingkat
1: Prakonvensional.
Tingkat ini dibagi menjadi
dua tahap:
· Tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman
· Tahap relativistik –instrument
Tingkat 2
: Konvensional.
Pada tingkat ini juga dibagi
menjadi 2 tahapan:
· Tahap orientasi mengenai anak yang baik.
· Tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas.
Tingkat
3: Pasca konvensional, otonom atau berlandaskan prinsip
Pada tingkat ini anak
mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga
terdiri dari dua tahap yaitu:
· Tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya
dengan lingkungan sosial.
· Tahap prinsip etika universal.
DAFTAR PUSTAKA
Crain, William . 2007.
Teori Perkembangan, Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Http://developmentbehaviourclinic.wordpress.com/2009/08/26/tahap-perkembangan-moral-kohlberg/.
Diakses pada hari sabtu, tgl 13/10/ 2012/ jam 09.30.
Http://id.scribd.com/doc/48722403/teori-perkembangan-kohlberg
Http://malpalenisatriana.wordpress.com/2010/11/05/perkembangan-moral-menurut-teori-lawrence-kohlberg/
Makmun. Abi syamsudin.
2005. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Syah. Muhibbin.
2000. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar