SETIA PADA
PROSES
Harapan tidak akan lagi menjadi harapan saja bila
ada keinginan untuk mewujudkannya. Dan impian yang menjadi cita-cita bukan lagi
menjadi mimpi biasa jika punya keinginan untuk berproses menggapainya. Aku
ingin bermimpi, aku ingin mewujudkannya, dan aku akan menjadikan diriku setia
pada prosesnya.
Namun, sebelum aku memulai prosesku mengejar
impian, beliau yang selama ini menjadi pelindung dan panutanku pun tega
menghancurkan impian itu. Beliau yang selama ini mengajariku untuk berlari menggapai
harapan, beliau yang selama ini menggenggam tangan mungilku dan selalu
mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, memintaku untuk mengubur
impian-impianku. Musikku, desainku, dan kesukaanku dengan hal kesenian karena
opininya yang tidak masuk akal juga sikap otoriter serta keras kepalanya.
Sulit untukku mencoba membuang harapan menjadi
seorang desainer pakaian ternama juga seorang pianis handal. Tadinya, aku berpikir
dengan Ayah yang memberikanku les piano berarti memperbolehkanku menjadi
seorang pianis. Tapi kenyataannya beliau sama sekali tidak menyukainya. Dan,
masih kuingat betul kata-kata tajam Ayah di puncak kemarahannya semalam,
“Mau jadi apa kamu sekolah di sekolahan musik yang nggak punya arahan seperti itu? Kamu mau jadi gelandangan yang nggak punya sopan santun? Dengar kata Papa Kez, impianmu itu tidak menghidupimu!”
“Mau jadi apa kamu sekolah di sekolahan musik yang nggak punya arahan seperti itu? Kamu mau jadi gelandangan yang nggak punya sopan santun? Dengar kata Papa Kez, impianmu itu tidak menghidupimu!”
Beliau melarangku untuk tidak masuk lagi dalam
lingkup yang berbau “seni” dan musik. Piano yang ada di rumah, hanya boleh
dimainkan ketika Ayah di rumah dan semua buku gambar yang berisi
desain-desainku pun entah disimpannya di mana. Begitulah Ayahku. Namun apalah
daya, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menuruti keinginan ayahku.
“Kezha, kemari sebentar. Ayah ingin berbicara”,
begitu pinta Ayahku ketika aku selesai menjalankan les piano. Kuikuti langkah
ayah menuju ruang keluarga lalu duduk dihadapannya.
“Besok, kamu tidak perlu les piano lagi”, begitu
yang disampaikannya ketika baru saja aku merasakan kelegaan karena bisa
memainkan pianoku lagi. Seperti petir yang terdengar di siang terik. Aku pun
bertanya-tanya akan maksud Ayah yang memintaku untuk berhenti.
“Besok pagi, Ayah akan mengantarmu mendaftarkan
Pendidikanmu di Universitas”, beliau menghela nafas sebentar.
“Ayah ingin, kamu menjadi seorang pendidik
seperti Ayah. Jadi, ayah akan mendaftarkanmu di Universitas Almamater Ayah”,
permintaan Ayah pun semakin mempersempit ruang gerakku. Bukan hanya studi saja
yang diatur, tempatnya pun beliau yang mengaturnya. Beliau juga mengancamku
akan menjual piano peninggalan Eyang bila aku tidak mau mengikuti perkataan
ayah. Sehingga, aku pun terpaksa menurutinya.
“Ayah, bolehkah aku memilih pendidikan apa yang
kuinginkan? Karena ayah sudah memilihkan Universitasnya”, pintaku hati-hati
ketika kami pergi mendaftar. Ayah pun hanya mengangguk, sambil memberitahuku
bahwa aku tidak akan bisa mengambil Pendidikan dengan adanya latar belakang
pianis dan seorang pelukis.
“Kenapa di antara banyak Prodi kamu memilih PGSD
Sayang? Kamu yakin?”, tanya Ayahku yang heran ketika aku memutuskan untuk
mengambil Program Studi Pendidikan untuk Guru SD. Beliau mengira aku akan
mengambil Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris atau bahkan Program Studi
Pendidikan Biologi yang selalu menjadi mapel favorit di sekolah.
“Karena ketika bertemu dengan anak-anak, aku
merasa iri Ayah. Mereka bisa memimpikan segala impian mereka dan mereka pun
bisa mewujudkan impiannya itu bila mereka setia pada prosesnya”, jawaban itulah
yang keluar dari mulutku. Aku merasa bersalah pada Ayahku, karena memiberikan statement yang menyudutkannya seperti
itu. Melihat antusiasme belajar mereka seperti membuatku berkaca pada masa
kecilku.
Aku menjalani pendidikanku sesuai dengan
keinginan Ayahku. Namun, tanpa sepengetahuan Ayahku pun, aku masih menekuni
kesukaanku untuk bermain piano dan membuat desain-desain pakaian. Hobi itu
rutin kulakukan. Hingga pada suatu saat, aku mempunyai ide untuk menggabungkan
kebisaanku dalam bermain piano pada pembelajaran matematika. Hal itu kucoba
untuk menyusunnya lalu kuujikan pada anak didikku. Ternyata, pembelajaran
dengan menggunakan rumus bermain piano yang selama ini aku praktekkan dengan
matematika sejalan.
Akhirnya, metode pembelajaranku yang menggunakan
rumus permainan piano pada pelajaran matematika pun dikenal banyak orang dan
mulai diterapkan oleh guru-guru pada pembelajarannya. Selain itu, hasil
desain-desain yang kubuat kugunakan dalam kelas menjahit untuk anak-anak.
Mereka aku ajarkan untuk membuat gambaran sederhana dengan lekukan indah pada
kain yang akan mereka jahit sederhana. Dan, entah mengapa, kelas yang aku ampu
selalu berhasil menarik perhatian banyak orang. Mereka menilai bahwa kelasku
merupakan kelas terkreatif dengan berbagai hasil karya yang indah.
Hal ini pun sampai ke telinga Ayahku. Tiba-tiba
saja beliau memintaku untuk makan siang bersamanya.
“Ayah pasti ingin minta penjelasan”, mulaiku saat
itu. Aku berusaha terlihat setenang mungkin agar kemarahan ayahku nantinya
tidak menggebu.
“Penjelasan apa? Coba jelaskan”, ayahku tampak
cuek saat itu. Dan, itu semakin membuatku takut dan bingung.
“Ayah, maafkan Kezha. Bukan maksud Kezha untuk
membangkang keinginan Ayah. Tapi Kezha tidak bisa jika Ayah menuntut Kezha
untuk sama sekali tidak menyentuh piano dan membuat sketsa lagi. Kedua hal itu
adalah permainan yang Ayah beri padaku untuk pertama kalinya. Ingatkah itu
Ayah?”, aku menghela untuk mengambil nafas panjang.
“Ketika aku diberi kedua hal tersebut, aku
mengira bahwa itu adalah salah satu kode Ayah untuk memintaku menjadi seseorang
yang suka terhadap piano dan sketsa. Tapi, apa Ayah tahu? Hal yang aku pelajari
selama ini tidak semuanya sia-sia Ayah. Piano dapat membantuku untuk memecahkan
permasalah, begitu pun dengan pembuatan sketsa. Tidak selamanya, yang disebut
Ayah sebagai “seni” adalah sampah saja. Mereka yang disebut sampah ternyata
mendidik. Mendidik seseorang untuk dapat berpikir luas, mendidik seseorang
untuk bersabar, mendidik untuk memahami dan juga mendidik untuk rutin atau
disiplin. Di sini aku mengalami semua itu, Yah”, ungkapku panjang lebar. Ayah
yang semula melakukan aktifitasnya makan pun tiba-tiba terdiam dan meletakkan
sendoknya. Aku sudah siap bila Ayah akan memarahiku habis-habisan.
“Anakku sudah dewasa”, begitu yang diucapkannya. Aku
hanya terdiam kebingungan dengan maksud Ayahku.
“Sebenarnya, Ayah tidak tega sekali ketika
mengatakan padamu kalau kamu harus berhenti bermain piano. Ayah tahu, alunan
piano itu bagaikan temanmu dalam segala hal, susah atau pun sedih. Hanya saja,
ayah perlu membuktikan sendiri. Bahwa setiap pengolahan rasa dan karsa dalam
seni itu erat kaitannya dengan pendidikan. Dan, memang benar! Suatu karya yang
menunjukkan rasa kebebasan berekspresi melalui seni bisa menjadi jembatan dalam
sebuah pendidikan. Tetaplah menjadi seorang pendidik, Anakku. Tetaplah menjadi
seorang pendidik yang menghargai rasa dan karsa anak-anakmu dalam berekspresi.
Dan, tetaplah menjadi anakku yang kusayangi”, jelas beliau panjang. Aku tidak dapat
berkata-kata lagi, hanya mataku berbicara dengan tetesan air mata bangga pada
Ayahku juga bahasa tubuhku yang memeluk tubuh tuanya.
- F.L.O -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar