Jumat, 29 Mei 2015

Cerpen Pendidikan dan Seni - Setia Pada Proses



SETIA PADA PROSES

Harapan tidak akan lagi menjadi harapan saja bila ada keinginan untuk mewujudkannya. Dan impian yang menjadi cita-cita bukan lagi menjadi mimpi biasa jika punya keinginan untuk berproses menggapainya. Aku ingin bermimpi, aku ingin mewujudkannya, dan aku akan menjadikan diriku setia pada prosesnya.
Namun, sebelum aku memulai prosesku mengejar impian, beliau yang selama ini menjadi pelindung dan panutanku pun tega menghancurkan impian itu. Beliau yang selama ini mengajariku untuk berlari menggapai harapan, beliau yang selama ini menggenggam tangan mungilku dan selalu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, memintaku untuk mengubur impian-impianku. Musikku, desainku, dan kesukaanku dengan hal kesenian karena opininya yang tidak masuk akal juga sikap otoriter serta keras kepalanya.
Sulit untukku mencoba membuang harapan menjadi seorang desainer pakaian ternama juga seorang pianis handal. Tadinya, aku berpikir dengan Ayah yang memberikanku les piano berarti memperbolehkanku menjadi seorang pianis. Tapi kenyataannya beliau sama sekali tidak menyukainya. Dan, masih kuingat betul kata-kata tajam Ayah di puncak kemarahannya semalam,
Mau jadi apa kamu sekolah di sekolahan musik yang nggak punya arahan seperti itu? Kamu mau jadi gelandangan yang nggak punya sopan santun? Dengar kata Papa Kez, impianmu itu tidak menghidupimu!
Beliau melarangku untuk tidak masuk lagi dalam lingkup yang berbau “seni” dan musik. Piano yang ada di rumah, hanya boleh dimainkan ketika Ayah di rumah dan semua buku gambar yang berisi desain-desainku pun entah disimpannya di mana. Begitulah Ayahku. Namun apalah daya, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menuruti keinginan ayahku.
“Kezha, kemari sebentar. Ayah ingin berbicara”, begitu pinta Ayahku ketika aku selesai menjalankan les piano. Kuikuti langkah ayah menuju ruang keluarga lalu duduk dihadapannya.
“Besok, kamu tidak perlu les piano lagi”, begitu yang disampaikannya ketika baru saja aku merasakan kelegaan karena bisa memainkan pianoku lagi. Seperti petir yang terdengar di siang terik. Aku pun bertanya-tanya akan maksud Ayah yang memintaku untuk berhenti.
“Besok pagi, Ayah akan mengantarmu mendaftarkan Pendidikanmu di Universitas”, beliau menghela nafas sebentar.
“Ayah ingin, kamu menjadi seorang pendidik seperti Ayah. Jadi, ayah akan mendaftarkanmu di Universitas Almamater Ayah”, permintaan Ayah pun semakin mempersempit ruang gerakku. Bukan hanya studi saja yang diatur, tempatnya pun beliau yang mengaturnya. Beliau juga mengancamku akan menjual piano peninggalan Eyang bila aku tidak mau mengikuti perkataan ayah. Sehingga, aku pun terpaksa menurutinya.
“Ayah, bolehkah aku memilih pendidikan apa yang kuinginkan? Karena ayah sudah memilihkan Universitasnya”, pintaku hati-hati ketika kami pergi mendaftar. Ayah pun hanya mengangguk, sambil memberitahuku bahwa aku tidak akan bisa mengambil Pendidikan dengan adanya latar belakang pianis dan seorang pelukis.
“Kenapa di antara banyak Prodi kamu memilih PGSD Sayang? Kamu yakin?”, tanya Ayahku yang heran ketika aku memutuskan untuk mengambil Program Studi Pendidikan untuk Guru SD. Beliau mengira aku akan mengambil Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris atau bahkan Program Studi Pendidikan Biologi yang selalu menjadi mapel favorit di sekolah.
“Karena ketika bertemu dengan anak-anak, aku merasa iri Ayah. Mereka bisa memimpikan segala impian mereka dan mereka pun bisa mewujudkan impiannya itu bila mereka setia pada prosesnya”, jawaban itulah yang keluar dari mulutku. Aku merasa bersalah pada Ayahku, karena memiberikan statement yang menyudutkannya seperti itu. Melihat antusiasme belajar mereka seperti membuatku berkaca pada masa kecilku.
Aku menjalani pendidikanku sesuai dengan keinginan Ayahku. Namun, tanpa sepengetahuan Ayahku pun, aku masih menekuni kesukaanku untuk bermain piano dan membuat desain-desain pakaian. Hobi itu rutin kulakukan. Hingga pada suatu saat, aku mempunyai ide untuk menggabungkan kebisaanku dalam bermain piano pada pembelajaran matematika. Hal itu kucoba untuk menyusunnya lalu kuujikan pada anak didikku. Ternyata, pembelajaran dengan menggunakan rumus bermain piano yang selama ini aku praktekkan dengan matematika sejalan.
Akhirnya, metode pembelajaranku yang menggunakan rumus permainan piano pada pelajaran matematika pun dikenal banyak orang dan mulai diterapkan oleh guru-guru pada pembelajarannya. Selain itu, hasil desain-desain yang kubuat kugunakan dalam kelas menjahit untuk anak-anak. Mereka aku ajarkan untuk membuat gambaran sederhana dengan lekukan indah pada kain yang akan mereka jahit sederhana. Dan, entah mengapa, kelas yang aku ampu selalu berhasil menarik perhatian banyak orang. Mereka menilai bahwa kelasku merupakan kelas terkreatif dengan berbagai hasil karya yang indah.
Hal ini pun sampai ke telinga Ayahku. Tiba-tiba saja beliau memintaku untuk makan siang bersamanya.
“Ayah pasti ingin minta penjelasan”, mulaiku saat itu. Aku berusaha terlihat setenang mungkin agar kemarahan ayahku nantinya tidak menggebu.
“Penjelasan apa? Coba jelaskan”, ayahku tampak cuek saat itu. Dan, itu semakin membuatku takut dan bingung.
“Ayah, maafkan Kezha. Bukan maksud Kezha untuk membangkang keinginan Ayah. Tapi Kezha tidak bisa jika Ayah menuntut Kezha untuk sama sekali tidak menyentuh piano dan membuat sketsa lagi. Kedua hal itu adalah permainan yang Ayah beri padaku untuk pertama kalinya. Ingatkah itu Ayah?”, aku menghela untuk mengambil nafas panjang.
“Ketika aku diberi kedua hal tersebut, aku mengira bahwa itu adalah salah satu kode Ayah untuk memintaku menjadi seseorang yang suka terhadap piano dan sketsa. Tapi, apa Ayah tahu? Hal yang aku pelajari selama ini tidak semuanya sia-sia Ayah. Piano dapat membantuku untuk memecahkan permasalah, begitu pun dengan pembuatan sketsa. Tidak selamanya, yang disebut Ayah sebagai “seni” adalah sampah saja. Mereka yang disebut sampah ternyata mendidik. Mendidik seseorang untuk dapat berpikir luas, mendidik seseorang untuk bersabar, mendidik untuk memahami dan juga mendidik untuk rutin atau disiplin. Di sini aku mengalami semua itu, Yah”, ungkapku panjang lebar. Ayah yang semula melakukan aktifitasnya makan pun tiba-tiba terdiam dan meletakkan sendoknya. Aku sudah siap bila Ayah akan memarahiku habis-habisan.
“Anakku sudah dewasa”, begitu yang diucapkannya. Aku hanya terdiam kebingungan dengan maksud Ayahku.
“Sebenarnya, Ayah tidak tega sekali ketika mengatakan padamu kalau kamu harus berhenti bermain piano. Ayah tahu, alunan piano itu bagaikan temanmu dalam segala hal, susah atau pun sedih. Hanya saja, ayah perlu membuktikan sendiri. Bahwa setiap pengolahan rasa dan karsa dalam seni itu erat kaitannya dengan pendidikan. Dan, memang benar! Suatu karya yang menunjukkan rasa kebebasan berekspresi melalui seni bisa menjadi jembatan dalam sebuah pendidikan. Tetaplah menjadi seorang pendidik, Anakku. Tetaplah menjadi seorang pendidik yang menghargai rasa dan karsa anak-anakmu dalam berekspresi. Dan, tetaplah menjadi anakku yang kusayangi”, jelas beliau panjang. Aku tidak dapat berkata-kata lagi, hanya mataku berbicara dengan tetesan air mata bangga pada Ayahku juga bahasa tubuhku yang memeluk tubuh tuanya.

-      F.L.O -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar